Thursday, August 22, 2013

A fail thriller in a bunker



John Cusack memerankan Emerson, seorang agen CIA yang dianggap gagal sebagai agen lapangan karena menolak membunuh seorang anak perempuan. Akibatnya ia diberi tugas yang lebih "sepele" yaitu mensupervisi seorang wanita bernama Katherine (Malin Akerman) yang memiliki tugas mengirimkan sandi angka kepada para agen-agen CIA di wilayah Eropa. Sandi angka ini dikirimkan melalui gelombang radio khusus yang tidak bisa dilacak dan terbilang kuno karena sudah ada sejak perang dunia ke II serta masih digunakan hingga sekarang, broadcast kode ini dilakukan dari sebuah tempat yang disebut Numbers Station (berupa bunker militer yang tidak terpakai) dan berada di Inggris (rrrr... in the middle of nowhere.. actually). Suatu ketika bunker mereka diserang oleh pihak yang ingin mengirimkan pesan ilegal, isinya berupa instruksi untuk membunuh ketua-ketua CIA yang jumlahnya tidak sedikit. Emerson dan Katherine kini berpacu dengan waktu untuk memecahkan kode ilegal tersebut dan membatalkannya serta berusaha agar tidak terbunuh saat para penjahat berhasil masuk ke dalam bunker tersebut. Film The Numbers Station ini disutradarai oleh Kasper Barfoed yang berasal dari Denmark, makanya nuansanya agak beda dengan film-film Hollywood lainnya. Banyak plot holes yang menganga di sepanjang film, jadi jangan heran kalau Anda bertanya-tanya sendiri "kenapa begini?" atau "kenapa begitu?". Pendalaman karakternya nyaris tak ada bahkan karakteristik Emerson dan Katherine dijabarkan hanya dengan satu kalimat panjang yang dilakukan masing-masing tokoh untuk lawan mainnya(and they fit the profile). Performance Cusack dan Akerman tidak istimewa alias biasa saja, mungkin karena skripnya gak mendukung mereka untuk berbuat lebih. Di luar negeri film ini langsung rilis dalam bentuk video (DVD, BD atau VOD) sedangkan di Indonesia hanya bisa disaksikan di jaringan bioskop Blitzmegaplex. Well... Paling tidak saya jadi tahu bahwa ada juga agen rahasia yang pekerjaannya sangat membosankan.



It scores 5 outta 10!

Saturday, August 17, 2013

ELYSIUM; Scifi berbalut kritik sosial ala Blomkamp



Max Dacosta (Matt Damon) sejak kecil memimpikan bisa tinggal di Elysium, sebuah tempat (mirip space station) di orbit planet bumi yang hanya bisa dihuni kaum elit. Elysium bagaikan surga buatan manusia, dimana tidak ada kemiskinan dan penyakit karena semua jenis penyakit bisa disembuhkan dengan teknologi medis yang canggih. Berbanding terbalik dengan keadaan di planet bumi itu sendiri, tepatnya tahun 2154 kondisi masyarakat miskin yang tinggal dibumi (karena gak mampu membayar untuk tinggal di Elysium) digambarkan sangat memprihatinkan, kriminalitas dan penyakit merajalela. Max yang terkena radiasi tingkat tinggi saat bekerja divonis hanya bisa hidup 5 hari lagi, ia harus berpacu dengan waktu untuk bisa pergi ke Elysium untuk menyembuhkan diri. Dengan bantuan gembong kriminal bernama Spider, ia membajak data dari seorang warga Elysium yang merupakan CEO Armadyne. Yang tidak diketahui Max adalah ternyata data ini berisi materi rahasia yang diinginkan menteri pertahanan Elysium bernama Delacourt (Jodie Foster) dan ia mengutus agen Kruger (Sharlto Copley) untuk mengambil data tersebut dari kepala Max dengan segala cara. Kini Max bukan hanya menghadapi waktu yang semakin mepet tapi juga kekejaman agen Kruger yang gigih ingin membunuh Max. Neil Blomkamp menulis dan menyutradarai film Elysium ini, mungkin Anda masih ingat dengan karya sebelumnya berjudul District 9 dengan konsep kritik sosial yang kurang lebih sama. Jika dibandingkan dengan District 9 maka film Elysium bisa dibilang penurunan kualitas. Tapi bukan berarti film ini jelek, adegan-adegan aksinya sangat menghibur dan cukup menegangkan, visualisasinya memukau terutama bila disaksikan dilayar IMAX. Semua pemain menampilkan performa yang baik, acungan jempol khusus untuk Sharlto Copley yang tampil menonjol dibandingkan pemain yang lain. Kekurangan film ini cuma satu, kurang dalamnya karakterisasi para tokohnya, padahal ada momen-momen flashback yang bisa dimanfaatkan. Elysium bukan karya terbaik Blomkamp dan mudah-mudahan ada peningkatan dalam karya berikutnya terutama yang mengusung kritik sosial dalam belutan science fiction layaknya District 9. Buat para pecinta film aksi dan science fiction, film ini jadi pilihan yang bagus untuk ditonton. Yang paling memorable buat saya dari film ini adalah adegan rekonstruksi wajah agen Kruger yang rusak karena terkena granat.. menjijikkan sekaligus mengagumkan.. see it for yourself if you wanna know what i mean...



It scores 7 outta 10!

And they SMURFin' around... again



Setelah sukses dengan film Smurf tahun 2011 lalu, team yang sama dipimpin sutradara Raja Gossnel kembali merilis Smurf 2 di tahun 2013 ini. Premisnya sederhana, Gargamel (Hank Azaria) yang kini menjadi selebriti gara-gara video yang memperlihatkan dirinya ketabrak mobil menjadi hit di Youtube, namun keinginannya menjadi penyihir hebat dan mendapatkan Smurf essence tidaklah padam. Untuk itulah ia menciptakan Naughties, makhluk kecil mirip Smurf yang akan membantunya mendapatkan apa yang ia inginkan dari para Smurf. Smurfette (Katy Perry) yang merupakan kreasi gagal Gargamel di goda oleh Vixy (Christina Ricci) dan Hackus (JB Smoove) agar menjadi nakal dan jahat. Bila Vixy dan Hackus berhasil maka impian Gargamel untuk menjadi penyihir paling sakti akan tercapai. Penilaian saya simpel aja, klo Anda menyukai film yang pertama maka Anda akan menyukai film ini. Sayangnya saya tidak, buat saya film ini hanya efektif untuk anak-anak dibawah 10 tahun. Pesan moral yang ingin disampaikan pun agak njelimet dan berantakan sehingga membutuhkan penjelasan lebih detail dari para orang tua yang membawa anaknya menyaksikan film ini. Sebenarnya ada sedikit peningkatan dari sisi teknis tapi kemungkinan besar Anda gak akan terlalu merasakannya. Gak perlu membayar mahal untuk nonton versi 3Dnya, versi yang reguler sudah lebih dari cukup kok.

It scores 5 outta 10!

Friday, August 16, 2013

Killing Season; Dendam perang Bosnia yang tak padam



Adegan di buka dengan serangkaian penyerbuan tentara NATO dan sekutunya yang menggerebek gerombolan Scorpion di Bosnia. Gerombolan Scorpion adalah penjahat perang yang membunuh pria, wanita dan anak-anak tanpa pandang bulu. Pasukan NATO mengeksekusi satu persatu penjahat perang ini namun ternyata ada seorang yang selamat. Emil Kovac (John Travolta) menunggu selama 18 tahun untuk bisa memulihkan diri dan menemukan Benjamin Ford (Robert De Niro) yang kini mengasingkan diri di sebuah pondok di tengah hutan. Ford adalah tentara yang menembak Emil di Bosnia namun Emil berhasil pulih. Pertemuan dengan Benjamin di hutan memberikan kesempatan bagi Emil untuk mengetahui lebih detail tentang orang yang  ia buru, bahkan mereka berdua sempat mabuk bersama di rumah Benjamin sebelum akhirnya Emil menunjukkan niat sebenarnya saat berburu rusa keesokan paginya. Benjamin kini harus bertahan hidup menyelamatkan dirinya dari kejaran Emil bahkan nyawa anak dan cucunya yang sedang berkunjung ke pondoknya pun terancam bila Benjamin tidak segera bertindak. Jujur saja, menurut saya ada yang salah dengan film ini. Performance Travolta dan DeNiro jauh dari mengecewakan meskipun bukan akting terbaik mereka. Sutradara Mark Steven Johnson terlihat bingung dengan apa yang ingin ia sajikan. Karakternya kurang tergali dengan baik, emosinya kurang greget dan kisahnya sudah bisa ditebak meskipun Johnson mencoba menawarkan twist (yang gagal). Film Killing Season awalnya diberi judul Sharpnel dengan konsep action thriller, entah kenapa hasil akhirnya berubah jadi gak jelas dan serba tanggung. Nilai tambah film ini hanya ada pada akting Travolta dan DeNiro serta sinematografi yang menangkap gambar-gambar pemandangan pegunungan yang indah. Sangat disayangkan dengan banyaknya talenta yang terasa terbuang percuma karena skrip yang buruk.

It scores 5 outta 10!